CERPEN: Memory (Spring)

by - 9.8.17

Bertemu musim lainnya di Berbagai Rasa (Winter)


Mawar merah di antara banyaknya lavender. Aku mengalihkan tatapan ke arah mawar merah itu. Pemandangan yang menghiasi pekarangan di sekitar pinggiran sungai. Jalanan sudah di penuhi pohon-pohon yang bunganya telah bermekaran dibasahi air hujan. Hujan di pertengahan musim semi tahun ini.

Duduk sendiri di keramaian seperti sekarang merupakan kebiasaan lamaku. Aku terkekeh saat ada yang mengatakan bahwa aku termasuk bagian dari orang kesepian. Untuk alasan yang logis aku juga meng-iya-kan. Bukan, lebih tepatnya aku tipe mandiri. Prinsipnya karena tidak ada yang paling setia dari diri kita sendiri.

“Carla!” Ah, dia lagi. Suara pria muda itu membuatku sebal.

“Kamu ke mana saja?”

Sungguh dia semakin menyebalkan dan keras kepala. Aku menutup telinga sambil berjalan mempercepat langkah berusaha tidak memperdulikannya. Tentu saja aku ingin bersikap seperti orang normal.

Dia terlihat kebingungan. “Hei! Bukannya kamu melihatku?”

“Begini, jadi aku ingin berteman.” Lanjutnya.

“Aku....” Tanpa melanjutkan perkataanku, aku tertunduk lesu. Dan sepertinya orang-orang mulai menatapku aneh.

“Ayo kita pergi. Sudah mulai hujan lagi.” Ucapnya penuh harap. Kini dia ikutan tertunduk disampingku. “Semenjak aku datang kamu selalu dibilang aneh. Aku tau itu yang buatmu dalam kesulitan. Maaf Carla, tapi,”

Aku menoleh sesaat, mungkinkah harus mempercayainya? dan mencoba bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Dia mengerutkan kening meminta jawabanku. “Bagaimana sudah percaya?”

Rasanya sudah sejak lama aku tidak berinteraksi bersama makhluk lain untuk kasus yang berbeda pula. Makhluk disampingku ini tampak masih muda mungkin berusia 21 tahun dengan luka di pelipis kanan. Tidak tau kapan pastinya aku bisa melihat makhluk lain yang jujur saja itu buat diriku dipandang aneh.

Kini hujan telah deras membuat bunga blossom perlahan jatuh di tempatku berteduh wanginya menyegarkan pikiran kembali.

“Aku dengar musim semi di NYC tahun ini akan lama.”
Aku berjingkat kebelakang saking kagetnya. Nyaris lupa dia masih mengikutiku, membuyarkan lamunan saja. Tentu dia melihat ekspresi kagetku tadi dan tertawa senang. --Sekali lagi- aku tidak peduli mengalihkan pandangan ke bunga blossom yang berjatuhan.

“Biasanya orang menikmati hujan dengan coklat hangat. Sudah lama aku tidak meminumnya.” Suara dia terdengar seperti rengekan.

“Kamu harus bawa aku kesana!” Kali ini suara dia bernada memerintah.

Ini benar-benar salah. Kenapa aku yang harus menjalin hubungan dengannya seperti tidak ada manusia lain yang perlu diganggu.

Untuk apa juga dia mau kesana, memegang cangkir saja tidak bisa dan mau minum coklat hangat? Yang benar saja. Aku terkekeh sendiri. Lagian tujuan awalku tadi ingin ke perpustakaan kota. Dan --sekali lagi- aku tidak peduli meninggalkannya yang masih berdiri di depan kafe minuman.

***

“Carla,” panggilnya menuju ruang duduk yang terdapat di sudut perpustakaan. “Kamu meninggalkanku lagi? Kita sudah berteman setidaknya harus pergi bersama.”

Dia menyandarkan punggung ke sandaran sofa dan mendongakkan wajahnya ke arah jendela. Aku mengikuti arah pandangannya. Langit kota New York cerah kembali. Cuaca musim semi selalu tidak terduga sebentar hujan dan cerah. Dia memejamkan mata seperti berpikir untuk mengatakan sesuatu dengan ekspresi serius.

Aku mengigit bibir sejenak pura-pura fokus membaca. Ada perasaan khawatir.

“Apakah kamu tidak penasaran? Mengenai kehidupanku?”

Ekspresinya yang serius tadi berubah imut sementara kedua tangannya di atas meja menopang dagu. Benar dugaanku, kenapa aku harus khawatir?

Aku meliriknya. “Tidak minat.”

“Aku tidak percaya,” sahutnya. “Kenapa?” kataku cepat tidak mau memperpanjang obrolan.

Dia mengeluarkan suara yang terdengar seperti dengusan dan tawa pendek. “Tidak apa-apa, aku hanya benci kesendirian.”

Aku mengerjap. Apakah aku terlalu kasar padanya atau perasaan dia yang sensitif.

“Baiklah kalau begitu.” gumamnya. Dia tidak berbicara lebih banyak lagi dan hendak pergi pelan menjauh dari pandangan.

Seperti biasa tidak ada yang bertahan bersamaku bahkan ‘makhluk lain’ sekalipun.

Aku sedang duduk melamun di antara para pengunjung sesekali mengamati buku-buku di depanku. Suasana hati dan pikiranku saat ini tidak sejalan. Yah, aku tau penyebabnya si-tuan hantu. Tiba-tiba ponselku bergetar panggilan dari Els –adikku-

“Carl, mommy, hilang. Aku pulang tiga menit lalu ternyata rumah sudah kosong.”

“Sudah menghubungi panggilan darurat?”

“Sudah. Mereka sekarang mencari mom dengan bantuan polisi juga.”

Dengan panik aku memutuskan obrolan Els dan mencari taksi bergegas menuju ke rumah. Pandanganku terhenti di gerbang perumahan yang berada di simpang lampu merah. Mungkin mommy disana lagi.

Crek. Perlahan aku membuka pintu rumah kosong bercat hijau ini, dari kejahuan aku bisa melihat mommy sedang duduk disamping lemari mengobrol bersama tiga makhluk lain. Mungkin bagi manusia biasa mommy terlihat seperti orang gila yang berbicara sendiri. Aku mencoba mendengar obrolan mereka di balik pintu.

“Biarkan aku berada disini sebentar. Aku mohon.”

Suara permintaan mommy kepada makhluk itu membuatku makin penasaran.

“Aku hanya ingin membantu kalian. Kasus kecelakaan itu juga menimpa keluargaku dan aku masih merasa bersalah.”

Aku diam mematung mencoba mencerna perkataan mommy. Kedua kakiku perlahan lemas teringat akan daddy yang meninggal karena kecelakaan. Mobil yang kami tumpangi menabrak pembatas jalan tol mengakibatkan satu mobil keluarga lainnya meninggal.

Mom aku ingat semuanya,”

Mommy terkejut mendengar ucapanku. Belum sempat aku melanjutkan ucapan Els dan petugas polisi datang.

Mom baik saja? Carl, kenapa tidak langsung menghubungiku mommy ada disini.”

“Maaf Els. Tolong ajak mommy pulang duluan biar aku menyusul.”

Selepas Els mengajak mommy pulang tatapan mata mommy semakin membenci dirinya. Aku yang sejak tadi masih di dalam rumah kosong ini bingung untuk mengatakan semua ingatanku nanti.

“Carla.”

Hantu pria muda itu memanggilku lagi. Kali ini aku sudah bisa bersikap ramah padanya.

“Sungguh aku hanya ingin berteman denganmu,”

“Maaf. Memang aku butuh bantuanmu untuk sebagai pendegar.”

Mereka berdua kini berjalan di trotoar menuju kafe minuman tadi. “Memang musim semi sangat cocok minum coklat hangat.” Sudut bibirku sedikit melengkung.

“Iya! Terima kasih Carla.”

“Apa alasanmu berteman denganku selain sebagai pendengar?”

“Tidak ada.”

“Tapi aku bukan orang yang baik semuanya tidak akan bertahan lama denganku.”

Dia menjawab dengan senyuman ringan bahkan dia sudah berada disebrang jalan, otomatis aku harus menyebrang menunggu lampu lalu lintas berwarna merah.

“Harusnya kita sepakat dulu mau jalan yang mana.” Tepat di depan makhluk lain itu aku memprotes.

“Sengaja. Katamu tadi orang tidak akan bertahan berteman denganmu? Menurutku itu hanya perasaanmu saja yang selalu negatif.”

“Tidak, mereka terkadang menjauh dariku.”

“Aku pernah menyesal bersikap tidak butuh orang lain tetapi aku juga bangga bersikap mandiri. Karena sikap itulah membuat diriku egois tanpa berpikir positif.”

Aku menatap langsung sorot mata penyesalan. “Kenapa sekarang aku jadi iri padamu ya?”

Dan lagi dia tersenyum ringan. “Aku yang harusnya iri padamu Carla. Aku sangat ingin punya kesempatan lagi untuk bilang jujur pada semua yang menyayangiku,”

“Sikap egoisku selalu gengsi membalas kebaikan mereka bahkan menunjukkan rasa penyayang pun sulit. Aku tidak mau kamu sepertiku juga. Selagi masih punya kesempatan balas kebaikan orang tanpa orang tersebut melakukan kebaikan dahulu.”
Dia berhenti berkata-kata. Pandangan pria muda beralih pada seorang nenek yang duduk diluar kafe menunggu cucunya selesai bekerja.

“Akhirnya sampai! Bau coklat selalu menghangatkan bukan.”

Aku mengangguk bergegas memasuki kafe.

“Ada alasan selain mencium bau coklat. Aku bisa merasa menjadi cucu dari nenek disana melihatnya saja membuat diriku dikelilingi orang yang menyayangi.” Ucapnya kepadaku. Sedetik kemudian tercipta keheningan di antara kami.

“Dev, Devran. Maaf aku baru ingat sekarang mungkin aku terlalu khawatir pada mommy. Aku dan Els berjanji akan menjaganya, kami sangat rindu padamu dan juga dad.” Suaraku bergetar menahan tangis.

Devran. Saudara kembarkumakhluk lainyang mengingatkan kepada kenangan keluarga yang berserakan seperti puzzle.

Devran tersenyum lebar. “Aku tau kamu pasti akan ingat kembali Carl,” jedanya untuk menyeringai, “Kami bangga pada kalian. Mommy bersikap begitu karena terlalu sayang kalian. Carla sepertinya kamu sepanjang jalan kesini berbicara sendiri. Tidak mau bersikap normal lagi?” Tunjuk Devran keseliling. Benar semua orang telah menatap aneh.

“Biarkan saja.”

Aku segera menghampiri pelayan kafe menunjuk menu. “Saya mau pesan dua cangkir hot chocolate.” Gumamku dan dibelakang Devran mengikuti langkahku.

You May Also Like

0 comments