CERPEN: Memory (Spring)
Bertemu musim lainnya di Berbagai Rasa (Winter)
Mawar merah di antara banyaknya
lavender. Aku
mengalihkan tatapan ke arah mawar merah itu. Pemandangan yang menghiasi
pekarangan di sekitar pinggiran sungai. Jalanan sudah di penuhi pohon-pohon
yang bunganya telah bermekaran dibasahi air hujan. Hujan di pertengahan musim
semi tahun ini.
Duduk sendiri di keramaian
seperti sekarang merupakan kebiasaan lamaku. Aku terkekeh saat ada yang
mengatakan bahwa aku termasuk bagian dari orang kesepian. Untuk alasan yang
logis aku juga meng-iya-kan. Bukan, lebih tepatnya aku tipe mandiri. Prinsipnya
karena tidak ada yang paling setia dari diri kita sendiri.
“Carla!” Ah, dia lagi. Suara pria muda
itu membuatku sebal.
“Kamu ke mana saja?”
Sungguh dia semakin menyebalkan
dan keras kepala. Aku menutup telinga sambil
berjalan mempercepat langkah berusaha tidak memperdulikannya. Tentu saja aku
ingin bersikap seperti orang normal.
Dia terlihat kebingungan. “Hei!
Bukannya kamu melihatku?”
“Begini, jadi aku ingin
berteman.” Lanjutnya.
“Aku....” Tanpa melanjutkan
perkataanku, aku tertunduk lesu. Dan sepertinya orang-orang mulai menatapku
aneh.
“Ayo kita pergi. Sudah mulai
hujan lagi.” Ucapnya penuh harap. Kini dia ikutan tertunduk
disampingku. “Semenjak aku datang kamu selalu dibilang aneh. Aku tau itu
yang buatmu dalam kesulitan. Maaf Carla, tapi,”
Aku menoleh sesaat, mungkinkah harus mempercayainya? dan mencoba bahwa tidak akan
terjadi apa-apa.
Dia mengerutkan kening meminta
jawabanku. “Bagaimana sudah percaya?”
Rasanya sudah sejak lama aku
tidak berinteraksi bersama makhluk
lain untuk kasus yang berbeda
pula. Makhluk disampingku ini tampak masih muda mungkin berusia 21 tahun dengan
luka di pelipis kanan. Tidak tau kapan pastinya aku bisa melihat makhluk lain yang jujur saja itu buat diriku
dipandang aneh.
Kini hujan telah deras membuat
bunga blossom perlahan jatuh di tempatku berteduh wanginya menyegarkan pikiran
kembali.
“Aku dengar musim semi di NYC
tahun ini akan lama.”
Aku berjingkat kebelakang saking
kagetnya. Nyaris lupa dia masih mengikutiku, membuyarkan
lamunan saja. Tentu dia melihat ekspresi kagetku tadi dan tertawa senang.
--Sekali lagi- aku tidak peduli mengalihkan pandangan ke bunga blossom yang
berjatuhan.
“Biasanya orang menikmati hujan
dengan coklat hangat. Sudah lama aku tidak meminumnya.” Suara dia terdengar
seperti rengekan.
“Kamu harus bawa aku kesana!”
Kali ini suara dia bernada memerintah.
Ini benar-benar salah. Kenapa aku
yang harus menjalin hubungan dengannya seperti tidak ada manusia lain yang
perlu diganggu.
Untuk apa juga dia mau kesana,
memegang cangkir saja tidak bisa dan mau minum coklat hangat? Yang benar saja. Aku terkekeh sendiri. Lagian tujuan awalku tadi ingin
ke perpustakaan kota. Dan --sekali lagi- aku tidak peduli meninggalkannya yang
masih berdiri di depan kafe minuman.
***
“Carla,” panggilnya menuju ruang
duduk yang terdapat di sudut perpustakaan. “Kamu meninggalkanku lagi? Kita
sudah berteman setidaknya harus pergi bersama.”
Dia menyandarkan punggung ke
sandaran sofa dan mendongakkan wajahnya ke arah jendela. Aku mengikuti arah
pandangannya. Langit kota New York cerah kembali. Cuaca musim semi selalu tidak
terduga sebentar hujan dan cerah. Dia memejamkan mata seperti berpikir untuk
mengatakan sesuatu dengan ekspresi serius.
Aku mengigit bibir sejenak
pura-pura fokus membaca. Ada perasaan khawatir.
“Apakah kamu tidak penasaran?
Mengenai kehidupanku?”
Ekspresinya yang serius tadi
berubah imut sementara kedua tangannya di atas meja menopang dagu. Benar
dugaanku, kenapa aku harus
khawatir?
Aku meliriknya. “Tidak minat.”
“Aku tidak percaya,” sahutnya.
“Kenapa?” kataku cepat tidak mau memperpanjang obrolan.
Dia mengeluarkan suara yang
terdengar seperti dengusan dan tawa pendek. “Tidak apa-apa, aku hanya benci
kesendirian.”
Aku mengerjap. Apakah aku terlalu
kasar padanya atau perasaan dia yang sensitif.
“Baiklah kalau begitu.” gumamnya.
Dia tidak berbicara lebih banyak lagi dan hendak pergi pelan menjauh dari
pandangan.
Seperti biasa tidak ada yang
bertahan bersamaku bahkan ‘makhluk lain’ sekalipun.
Aku sedang duduk melamun di
antara para pengunjung sesekali mengamati buku-buku di depanku. Suasana hati
dan pikiranku saat ini tidak sejalan. Yah,
aku tau penyebabnya si-tuan hantu. Tiba-tiba ponselku bergetar panggilan dari
Els –adikku-
“Carl, mommy, hilang. Aku pulang
tiga menit lalu ternyata rumah sudah kosong.”
“Sudah menghubungi panggilan
darurat?”
“Sudah. Mereka sekarang mencari
mom dengan bantuan polisi juga.”
Dengan panik aku memutuskan
obrolan Els dan mencari taksi bergegas menuju ke rumah. Pandanganku terhenti di
gerbang perumahan yang berada di simpang lampu merah. Mungkin mommy disana lagi.
Crek. Perlahan aku membuka pintu rumah kosong bercat hijau
ini, dari kejahuan aku bisa melihat mommy sedang duduk disamping lemari
mengobrol bersama tiga makhluk lain. Mungkin bagi manusia biasa mommy terlihat seperti orang gila yang
berbicara sendiri. Aku mencoba mendengar obrolan mereka di balik pintu.
“Biarkan aku berada disini
sebentar. Aku mohon.”
Suara permintaan mommy kepada makhluk itu membuatku makin
penasaran.
“Aku hanya ingin membantu kalian.
Kasus kecelakaan itu juga menimpa keluargaku dan aku masih merasa bersalah.”
Aku diam mematung mencoba
mencerna perkataan mommy.
Kedua kakiku perlahan lemas teringat akan daddy yang meninggal karena kecelakaan.
Mobil yang kami tumpangi menabrak pembatas jalan tol mengakibatkan satu mobil
keluarga lainnya meninggal.
“Mom aku ingat semuanya,”
Mommy terkejut mendengar ucapanku.
Belum sempat aku melanjutkan ucapan Els dan petugas polisi datang.
“Mom baik saja? Carl, kenapa tidak langsung
menghubungiku mommy ada disini.”
“Maaf Els. Tolong ajak mommy pulang duluan biar aku menyusul.”
Selepas Els mengajak mommy pulang tatapan mata mommy semakin membenci dirinya. Aku yang sejak
tadi masih di dalam rumah kosong ini bingung untuk mengatakan semua ingatanku
nanti.
“Carla.”
Hantu pria muda itu memanggilku
lagi. Kali ini aku sudah bisa bersikap ramah padanya.
“Sungguh aku hanya ingin berteman
denganmu,”
“Maaf. Memang aku butuh bantuanmu
untuk sebagai pendegar.”
Mereka berdua kini berjalan di
trotoar menuju kafe minuman tadi. “Memang musim semi sangat cocok minum coklat
hangat.” Sudut bibirku sedikit melengkung.
“Iya! Terima kasih Carla.”
“Apa alasanmu berteman denganku
selain sebagai pendengar?”
“Tidak ada.”
“Tapi aku bukan orang yang baik
semuanya tidak akan bertahan lama denganku.”
Dia menjawab dengan senyuman
ringan bahkan dia sudah berada disebrang jalan, otomatis aku harus menyebrang
menunggu lampu lalu lintas berwarna merah.
“Harusnya kita sepakat dulu mau
jalan yang mana.” Tepat di depan makhluk lain itu aku memprotes.
“Sengaja. Katamu tadi orang tidak
akan bertahan berteman denganmu? Menurutku itu hanya perasaanmu saja yang
selalu negatif.”
“Tidak, mereka terkadang menjauh
dariku.”
“Aku pernah menyesal bersikap
tidak butuh orang lain tetapi aku juga bangga bersikap mandiri. Karena sikap
itulah membuat diriku egois tanpa berpikir positif.”
Aku menatap langsung sorot mata
penyesalan. “Kenapa sekarang aku jadi iri padamu ya?”
Dan lagi dia tersenyum ringan.
“Aku yang harusnya iri padamu Carla. Aku sangat ingin punya kesempatan lagi
untuk bilang jujur pada semua yang menyayangiku,”
“Sikap egoisku selalu gengsi
membalas kebaikan mereka bahkan menunjukkan rasa penyayang pun sulit. Aku tidak
mau kamu sepertiku juga. Selagi masih punya kesempatan balas kebaikan orang
tanpa orang tersebut melakukan kebaikan dahulu.”
Dia berhenti berkata-kata.
Pandangan pria muda beralih pada seorang nenek yang duduk diluar kafe menunggu
cucunya selesai bekerja.
“Akhirnya sampai! Bau coklat
selalu menghangatkan bukan.”
Aku mengangguk bergegas memasuki
kafe.
“Ada alasan selain mencium bau
coklat. Aku bisa merasa menjadi cucu dari nenek disana melihatnya saja membuat
diriku dikelilingi orang yang menyayangi.” Ucapnya kepadaku. Sedetik kemudian
tercipta keheningan di antara kami.
“Dev, Devran. Maaf aku baru ingat
sekarang mungkin aku terlalu khawatir pada mommy.
Aku dan Els berjanji akan menjaganya, kami sangat rindu padamu dan juga dad.” Suaraku bergetar menahan
tangis.
Devran. Saudara kembarku—makhluk lain—yang mengingatkan kepada kenangan
keluarga yang berserakan seperti puzzle.
Devran tersenyum lebar. “Aku tau
kamu pasti akan ingat kembali Carl,” jedanya untuk menyeringai, “Kami bangga
pada kalian. Mommy bersikap begitu karena terlalu sayang
kalian. Carla sepertinya kamu sepanjang jalan kesini berbicara sendiri. Tidak
mau bersikap normal lagi?” Tunjuk Devran keseliling. Benar semua orang telah
menatap aneh.
“Biarkan saja.”
Aku segera menghampiri pelayan
kafe menunjuk menu. “Saya mau pesan dua cangkir hot chocolate.” Gumamku dan
dibelakang Devran mengikuti langkahku.
0 comments